PATOLOGI
Gambaran Patologi
Duchenne muscular dystrophy (DMD) merupakan penyakit
distrofi muskular progresif, bersifat herediter, dan mengenai anak laki-laki. Insidensi
penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi
laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya
mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier. Pada DMD terdapat
kelainan genetik yang terletak pada kromosom X, lokus Xp21.2 yang bertanggung
jawab terhadap pembentukan protein distrofin. Perubahan patologi pada otot yang
mengalami distrofi terjadi secara primer dan bukan disebabkan oleh penyakit
sekunder akibat kelainan sistem saraf pusat atau saraf perifer.
Distrofin merupakan protein yang sangat panjang dengan
berat molekul 427 kDa,dan terdiri dari 3685 asam amino. Penyebab utama proses
degeneratif pada DMD kebanyakan akibat delesi pada segmen gen yang bertanggung
jawab terhadap pembentukan protein distrofin pada membran sel otot, sehingga
menyebabkan ketiadaan protein tersebut dalam jaringan otot.
Erb pada tahun 1884 untuk pertama kali memakai istilahdystrophia
muscularis progressiva. Pada tahun 1855, Duchenne memberikan deskripsi
lebih lengkap mengenai atrofi muskular progresif pada anak-anak.Becker
mendeskripsikan penyakit muscular dystrophy yang dapat diturunkan secara
autosomal resesif, autosomal dominant atau X-linked resesif. Hoffman et al
menjelaskan bahwa kelainan protein distrofin merupakan penyebab utama DMD dan
Becker Muscular Dystrophy (BMD). (Wedhanto, 2007)
Patogenesis
Duchenne distrofi otot (DMD) disebabkan oleh mutasi gen distrofin di lokus Xp21. Distrofin bertanggung jawab untuk menghubungkan sitoskeleton dari setiap serat otot yang mendasari lamina basal ( matriks ekstraselular ) melalui kompleks protein yang mengandung banyak subunit. Tidak adanya distrofin memungkinkan kelebihan kalsium untuk menembus sarcolemma (membran sel). Perubahan dalam jalur sinyal menyebabkan air masuk ke dalam mitokondria yang kemudian meledak. Dalam distrofi otot rangka, disfungsi mitokondria menimbulkan amplifikasi stres-induced sinyal kalsium sitosol dan amplifikasi dari stres akibat reaktif oksigen spesies (ROS) produksi. Dalam kompleks Cascading proses yang melibatkan beberapa jalur dan tidak jelas dipahami, meningkatkan stres oksidatif dalam kerusakan sel sarcolemma dan akhirnya menyebabkan kematian sel. Serat otot mengalami nekrosis dan akhirnya diganti dengan adiposa dan jaringan ikat.
DMD diwariskan dalam pola X-linked resesif . Wanita
biasanya akan menjadi pembawa untuk penyakit sementara laki-laki akan
terpengaruh. Biasanya, pembawa perempuan akan menyadari mereka membawa mutasi
sampai mereka memiliki anak yang terkena dampak. Putra seorang ibu pembawa
memiliki kesempatan 50% dari mewarisi gen cacat dari ibunya. Putri seorang ibu
pembawa memiliki kesempatan 50% menjadi pembawa atau memiliki dua salinan
normal gen. Dalam semua kasus, sang ayah juga akan melewati Y normal untuk
anaknya atau X normal untuk putrinya. Pembawa Perempuan kondisi X-linked
resesif, seperti DMD, dapat menunjukkan gejala tergantung pada pola mereka
X-inaktivasi.
Duchenne distrofi otot disebabkan oleh mutasi pada gen
distrofin, yang terletak pada kromosom X. DMD memiliki kejadian 1 di 4.000
laki-laki yang baru lahir. Mutasi dalam gen distrofin baik dapat diwariskan
atau terjadi secara spontan selama transmisi germline.
Manifestasi Klinis
Penyakit ini ditandai dengan progressive
weakness danwasting of muscles. Hal ini terlihat pada
laki-laki, dan diturunkan sebagai karakteristik resesif sex-linked dengan
tingkat mutasi yang tinggi. Gambaran klinis biasanya terlihat dalam tiga tahun
pertama, dan penyakit berlangsung sampai pasien tidak mampu berjalan yang
mungkin terjadi di dekat usia 12, atau pada awal masa remaja. Si anak meninggal
karena infeksi pernapasan atau gagal jantung beberapa waktu di dekade kedua
atau ketiga.
Kelemahan otot relatif simetris dan dimulai pada
proksimalpelvic girdle, shoulder girdle dan trunk.
Tangan biasanya mempertahankan beberapa fungsi yang berguna sampai tahap akhir
dari penyakit, meskipun extreme weakness dari lengan dan otot
sekitar shoulder girdle membuatnya sangat sulit bagi anak
untuk menggunakan tangannya tanpa bantuan mekanis.Pseudohyperthrophy terlihat
sampai batas tertentu di hampir setiap pasien, di calf muscle, quadriceps, gluteal dan deltoid
muscles, dan kadang-kadang terjadi pada grup otot yang lain. (Shepherd,
1980)
Gejala utama dari Duchenne distrofi otot,
gangguan neuromuskuler progresif, adalah kelemahan otot yang berhubungan dengan
pengecilan otot dengan otot menjadi yang pertama terkena dampak, terutama yang
mempengaruhi otot-otot pinggul, daerah panggul, paha, bahu, dan otot betis .
Kelemahan otot juga terjadi pada lengan, leher, dan daerah lain, tetapi tidak
sedini di bagian bawah tubuh. Betis sering diperbesar.
Gejala biasanya muncul sebelum usia 6 dan mungkin
muncul pada awal masa kanak-kanak.
1. Canggung
cara berjalan, melangkah, atau berjalan. (Pasien cenderung untuk berjalan pada
kaki depan mereka, karena suatu tonus betis peningkatan juga. Berjalan kaki
adalah adaptasi kompensasi untuk kelemahan ekstensor lutut.)
2. Sering
jatuh
3. Kelelahan
4. Kesulitan
dengan keterampilan motorik (berlari, melompat, melompat)
5. Peningkatan
lumbar lordosis, menyebabkan pemendekan otot fleksor hip. Ini memiliki efek
pada postur keseluruhan dan cara berjalan, melangkah, atau berjalan.
6. Otot
kontraktur tendon achilles dan paha belakang merusak fungsi karena serat otot
memendek dan fibrosis terjadi pada jaringan ikat
7. Progresif
kesulitan berjalan
8. Pseudohypertrophy
(pembesaran) dari lidah dan otot betis. Jaringan otot akhirnya digantikan oleh
jaringan lemak dan ikat, maka pseudohypertrophy panjang.
9. Risiko
tinggi gangguan neurobehavioral (misalnya, ADHD), gangguan belajar (disleksia),
dan non-progresif kelemahan dalam keterampilan kognitif tertentu (terutama
memori jangka pendek verbal), yang diyakini sebagai hasil dari distrofin hadir
atau disfungsional dalam otak.
10. Akhirnya
kehilangan kemampuan untuk berjalan biasanya pada usia 12 tahun
11. Cacat
tulang Skeletal cacat termasuk scoliosis dalam beberapa kasus.
FISIOTERAPI
Assessment
Hal ini diperlukan untuk menilai anak secara teratur
sebagai alat panduan dan treatment, tetapi penilaian tidak harus
dilakukan sedemikian rupa sehingga membuat anak depresi dan marah. Seharusnya
selama pemeriksaan anak tidak mengetahui sebagai konfirmasi increasing
weakness dan disability. Sebuah metode penilaian telah
disarankan oleh Vignos, Spencer dan Archibald (1963), yang dilakukan pada tiga
interval bulanan. Ini dapat digunakan sebagai panduan umum untuk pengobatan
karena menunjukkan perkiraan tingkat di mana kecacatan anak mengalami kemajuan.
Grade
|
Evidence
|
Grade 1
|
Walks and
climbs stairs without assistance
|
Grade 2
|
Walks and
climbs stairs with aid of railing
|
Grade 3
|
Walks and
climbs stairs slowly with aid of railing (over 25 seconds for eight standard
steps)
|
Grade 4
|
Walk
unassisted and rises from chair but cannot climb stairs
|
Grade 5
|
Walk
unassistaned but cannot rise from chair or climb stairs
|
Grade 6
|
Walks only
with assistance or walks independently with long leg braces
|
Grade 7
|
Walks in
long leg braces but requires assistance for balance
|
Grade 8
|
Stands in
long leg braces but unable ti walk even with assistance
|
Grade 9
|
Is in
wheelchair. Elbow flexors more htan antigravity
|
Grade 10
|
Is in
wheelchair. Elbow flexors less than antigravity
|
Hal ini penting untuk menilai fungsi karena akan memberikan gambaran yang
jelas tentang disability dan sebagai panduan untuktreatment.
Penilaian fungsional tersebut dapat dilakukan oleh fisioterapis sesekali ke
sekolah, setelah ia mengunjungi rumah anak, berbicara dengan orang tuanya
dan-guru sekolahnya. Dia membuat pengamatan sendiri mengenai kegiatan anak
tersebut seperti berjalan, duduk ke berdiri, berdiri ke duduk, keseimbangan
bersiri, dan efektifitas penggunaan tangan, kemudian pengamatan ini dicatat dan
disimpan. Penilaian direkam dikombinasikan dengan tulisan, ini dapat memberikan
gambaran yang lebih akurat dari status fungsional anak.
Tes fungsi pernafasan merupakan hal penting dalam penatalaksanaan.
Sebuah spirometer atau peak flow meter dapat
digunakan untuk menilai kekuatan dan kelelahan otot-otot pernafasan, serta
variasi kapasitas vital. Forced Expired Volume in Second (FEV1)
diuji dengan menggunakan vitalograph
Preventive Treatment
Preventive of respiratory of illness
Pemikiran. Kegagalan pernapasan adalah penyebab umum
kematian pada anak-anak. Kelemahan dan kelumpuhan otot-otot bantu pernapasan,
terutama otot-otot perut, lattisimus dorsi dan sternomastoid, membuat inspirasi
dan ekspirasi yang efektif sulit atau tidak mungkin. Pada tahap ini,
satu-satunya otot sukarela mampu kontraksi aktif mungkin diafragma dan
otot-otot wajah.
Chronic Alveolar Hypoventilation telah dilaporkan pada anak-anak dengan distrofi
otot (Buchsbaum et al 1968). Hipoksemia, retensi karbondioksida dan pernafasan
asidosis menyebabkan kebingungan, penglihatan kabur dan sakit kepala.
Metode:
1. Latihan
pernapasan setiap hari selama sekitar 5 menit untuk mendapatkan ekspansi penuh
paru-paru dapat dilakukan di rumah dengan pengawasan ibunya.
2. Penekanan
harus pada pernapasan diafragma.
3. Pada
tahap awal, fungsi ventilasi yang memadai dapat diperoleh dengan berenang dan
dengan permainan seperti meniup bola ping-pong, dalam hal ini penting bagi
terapis memastikan bahwa anak melalukan ekspirasi lama yang terkendali.
4. Anak
dapat didorong untuk memainkan alat musik tiup.
5. Instruksi
dalam melakukan metode postural drainage dan batuk efektif
perlu diajarkan kepada orangtuanya, yang harus dilakukan bila perlu.
6. Lamanya
waktu untuk postural drainage harus sekitar lima sampai
sepuluh menit, bila perlu lakukan lebih lama
7. Harus
makan tiga atau empat kali sehari, tergantung juga pada kebutuhan.
8. Vibration dan
latihan pernapasan dengan penekanan pada akhir ekspirasi penuh akan membantu
untuk membersihkan sekresi dari saluran udara .
9. Pada
stadium akhir , anak mungkin perlu rutin postural drainage setiap
hari.
Prevention of soft tissue contracture and deformity
Pemikiran. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi
fisioterapis adalah kecepatan yang diikuti dengan contracture
progressive setelah mereka telah mencapai titik tertentu.
Kelemahan otot yang terjadi dalam satu kelompok otot membuat kelompok opposite menjadi
bebas untuk menarik sendi atau anggota tubuh menjadi disability
position. Otot-otot yang melemah akan berada dalam wilayah terlindung yang
akhirnya menkompensasi terjadinya kontraktur. Gravitasi membuat tubuh dalam
posisi fleksor, dan kelemahan ekstensor ekstremitas bawah yang terjadi pada
awal perkembangan penyakit meningkatkan kecenderungan ke arah deformitas
fleksi.
Meski pada fase awal, ini tidak akan mudah. Faktor
orangtua juga menjadi kunci utama. Saat anak libur sekolah di rumah orangtua
tidak melakukan apa yang telah diinstruksikan oleh fisioterapis, ini akan
percuma. Justru akan membuat kontraktur memasuki fase yang lebih lanjut.
Metode:
1. Lakukan
kegiatan yang mendorong berbagai gerakan sepenuhnya yang akan menunda
perkembangan kontraktur dan deformitas
2. Terapis
membuat panduan kegiatan untuk memastikan anak menggerakkan tubuhnya to
the limits of their range.
3. Gerakan
harus melibatkan kontraksi aktif otot antagonis pada jaringan lunak yang
berpotensi memendek, dan gerakan yang melibatkan ekstensi ditekankan, dengan
tahanan atau bantuan dari terapis.
4. Terapis
harus menggunakan kecerdasannya untuk dapat melibatkan diri dalam kegiatan anak
yang dia sarankan. Dia harus mewaspadai aktivitas membosankan seperti
memberikan latihan yang klise sehingga membuat anak memberontak apatis.
5. Berbaring
dalam posisi pronasi, seperti Rossfeld Frame/Prone Board.
6. Orang
tua diajarkan bagaimana mempertahankan panjang calf muscles, ilio-tibial
tract dan hamstring, dan setiap hari melakukan setiap
peregangan sekitar 10 kali.
7. Stretching:
Passive self-stretch for tendo
achilles on standing board, Manual achilles tendon stretch,
Passive sitting hamstring
stretch position, Passive self-stretch for hamstrings,
Manual hamstring strecth,
Hip flexor stretch (plus ilio-tibial
tract), Ilio-tibial
tract (manual stretch in prone), Iliotibial tract (manual stretching in side lying),
Hip flexor stretch in side
lying, Hip
flexor on back, Elbow stretch, Forearms stretch (pronators),
Long fingers flexors,
Tibialis posterior stretch.
Preventive of immobility and
inactivity, both mental and physical
Kebiasaan berolahraga harus dikembangkan sejak awal dalam
hidup anak. Anak ini harus bergerak seaktif mungkin tanpa menyebabkan dia
kelelahan. Permainan dan kegiatan harus hati-hati dipikirkan, sehingga mereka
akan menjadi tantangan bagi anak daripada satu set senam. Ketidakaktifan
merugikan anak-anak, seorang anak yang bosan akan membuatnya tidak aktif.
Metode: Berenang dan permainan di kolam renang adalah kegiatan yang
mendorong mobilitas, daya tahan dan kontrol pernapasan. Saat anak di kolam
renang dengan hati-hati direncanakan untuk menyertakan kegiatan yang diperlukan
tanpa menghilangkan unsur fun. Kegiatan dengan bantuan atau tahanan
akan melatih otot perut, ekstensor trunk dan ekstensor
tungkai.
Bagian dari setiap hari, minimal 30 menit, harus disisihkan di rumah atau
sekolah untuk permainan yang penuh semangat dan kegiatan untuk mendorong
kekuatan, mobilitas dan fungsi pernafasan.
Splinting and Surgery
Pendekatan kedua, dibahas oleh Gardner-Medwin (1977) menyarankan bahwa, asalkan kursi roda meningkatkan mobilitas anak, mungkin lebih baik bagi anak dengan membawa ke akhir perjuangannya untuk tetap berdiri. Sebuah kursi roda bertenaga listrik sangat penting bagi seorang anak yang tidak memiliki kekuatan lengan yang diperlukan untuk mendorong kursi. Vignos, spencer dan Archibald (1963) dan Tunbridge- Diamond (1966) menemukan bahwa anak-anak dalam perawatan mereka dapat mempertahankan kaki mereka lebih lama dengan bantuan kaliper, dan oleh karena itu tahap ketergantungan di kursi roda tertunda.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
Distrofi Otot Dunchenne Muscular Dystrophy (DMD) Gangguan Kelemahan Otot Kaki.
Diakses tanggal 10 Oktober 2013
Anonim.
Montrosse Access DMD – A Team Approach to Management. Diakses tanggal 21
Oktober 2013
Shepherd,
Roberta B. 1980. Physiotherapy In Paediatrics. London: William Heinemann
Medical Books Limited
Wedhanto,
Sigit. 2007. Laporan Kasus Dunchenne Muscular Dystrophy. Divisi Orthopaedi
& Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo, Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar